tanaman porang
Tanaman Porang
Porang merupakan tanaman umbi-umbian dan termasuk dalam spesies Amorphophallus Muelleri Blume. umbi porang mengandung zat glucomananatau zat dalam bentuk gula kompleks dan serat larut yang berasal dari ekstrak akar tanaman.

Tanaman porang terbilang mudah dan murah karena tak memerlukan banyak perlakukan khusus. Pohon porang mudah tumbuh dalam berbagai kondisi tanah, bahkan di lahan kritis sekalipun.

Dari data yang dirilis Kementerian Pertanian, jika dijadikan sebagai tanaman budidaya pertanian, keunggulan pohon porang yakni bisa beradaptasi pada berbagai semua jenis tanah dan ketinggian antara 0 sampai 700 mdpl. Tanaman porang juga relatif bisa bertahan di tanah kering. Umbinya atau bibit porang juga bisa didapatkan dengan mudah, sementara tanamanya hanya memperlukan perawatan yang minim.

Manfaat tanaman ini digunakan untuk bahan baku pembuatan tepung konjak atau tepung glucomannan. Tepung ini yang kemudian dipakai sebagai bahan utama olahan shirataki, mi bening yang banyak dikonsumsi di Asia Pasifik.

Berbeda dengan tepung terigu atau tepung beras, konjak sendiri dikenal memiliki banyak serat. Itu sebabnya shirataki berbahan dari konjak memiliki rasa lebih kenyal namun kandungan karbohidrat lebih sedikit. Mi shirataki ini juga seringkali dipakai untuk mi ramen di Jepang. Popularitas shirataki juga terus meningkat karena dipercaya sebagai menu diet dan gaya hidup sehat.

Tanaman Porang sejak tahun 1970-an dicari di hutan. Istilah orang Madiun mereka mencari porang di hutan dengan sebutan ngegelondong.

“Perburuan” tanaman porang itu dilakukan karena memang belum ada budidaya. Mereka mencari porang dari satu hutan yang satu ke hutan yang lain. Kalau lagi beruntung bisa dapat banyak, tetapi kalau lagi apes hanya dapat sedikit.

Tanaman porang itu dulu dijual kepada para pengepul di Madiun. Oleh para pengepul kemudian membawa ke sebuah pabrik kecil di dekat sana. Ada suatu cerita dari para pemburu porang hutan, katanya pada saat porang masih banyak dihutan, katanya katak porang saja bisa mencapai 3 kilogram. Batang porang bisa berdiameter 50 cm atau setengah meter.

Saat itu orang hanya dihargai 75 rupiah, masih murah. Pada saat itu porang masih anak tiri yang diabaikan, walaupun ada yang mencari masih murah.

Seiring waktu porang kian dicari. terakhir 2010 melalui BUMN yang menangani Perhutani melakukan kerjasama dengan masyarakat pinggir hutan membudidayakan porang dengan sistem bagi hasil. Dengan demikian petani mendapat hasil lebih, perhutani juga dapat dan hutannya terjaga.

Namun saat itu porang dalam naungan di hutan perhutani sampai panen lama. Bisa 4 tahun bisa dipanen. Kemudian petani beberapa melakukan percobaan dengan membudidayakannya di lahan terbuka. Setelah beberapa kali melakukan percobaan akhirnya berhasil dengan mempercepat waktu panen bisa 2 tahun yang semula 4 tahun.

Inilah disebut revolusi porang, porang bisa lebih cepat menghasilkan. Sejak saat itu mulai banyak orang membudidayakan porang seiiring harganya makin bagus. Pada musim porang dorman dengan kadar air minim bisa sampai 10 sampai 13 ribu rupiah per kilogram basah.

Porang makin laris manis dan diminati. Kini tak hanya umbi, benihnya pun diburu petani untuk ditanam. Orang kini banyak menyebut porang sebagai emas hijau karena per hektar bisa menghasilkan ratusan juta dari hasil satu kali panen.

Akhirnya kini Porang seperti anak emas yang disayang petani. Tidak seperti dulu dibiarkan di hutan dan dihargai murah. Begitulah kisah porang dari tanaman hutan menjadi tanaman dengan komoditi dengan nilai tinggi.