Di abad ke-21 ini banyak terjadi bencana alam. Sebagian dari bencana itu merupakan ulah perbuatan manusia itu sendiri. Tanah Longsor misalnya. Saat musim penghujan tiba, hampir setiap hari berita tersebut  ditayangkan di beberapa stasiun TV. Puluhan korban jiwa di renggut. Harta benda wargapun lenyap seketika. Kerugian fisik dan psikis menjadi derita keluarga yang ditinggalkan. terjadinya tanah longsor ini disebabkan karena adanya pergerakan tanah dan bebatuan dalam jumlah besar, secara tiba-tiba atau berangsur. Umumnya terjadi didaerah terjal yang tidak stabil.  Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya bencana ini adalah lereng yang gundul serta kondisi tanah dan bebatuan yang rapuh. Derasnya aliran air dan kurangnya daerah resapan sebagai pemicu utama terjadinya tanah longsor.  Ulah manusia pun bisa menjadi penyebab tanah longsor seperti penambangan tanah, pasir dan batu yang tidak terkendalikan.
                Masalah lingkungan yang dihadapi dewasa ini pada dasarnya adalah masalah ekologi manusia. Masalah itu timbul karena adanya perubahan iklim sehingga menyebabkan rusaknya alam dan terganggunya ekosistem. Kerusakan lingkungan yang terjadi dikarenakan eksflorasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Kerusakannya  telah mengganggu keseimbangan alam, sehingga banyak fungsi ekologi alam terganggu. Jika hal ini tidak segera diatasi pada akhirnya berdampak kepada terganggunya kesejahteraan manusia.
                “bataran” (Red: terasering) menjawab permasalahan lingkungan dan tanah longsor. Masyarakat Nusa Penida rasanya tak asing lagi mendengar kata itu. Meskipun disetiap ladang masyarakat setempat terdapat bataran, namun tidak semua tau akan besarnya manfaat bataran terhadap lingkungan. Abangan atau sering disebut dengan terasering merupakan teras buatan yang dibentuk bertingkat-tingkat, sehingga lereng perbukitan dapat dilakukan bercocok tanam. Teras tersebut menjadikan tanah datar dan lebih mudah teraliri air. Disamping itu juga untuk mempermudah proses penggemburan tanah atau dibajak. bataran ini sengaja dibuat beralur sesuai dengan bentuk lereng perbukitan. Alur tersebut dibuat memanjang atau melingkar dengan cara ditembok dengan susunan bebatuan yang rapi dan kuat.

                Kondisi geografis alam nusa penida yang terletak di ketinggian + 400 m diatas permukaan laut, berdampak pada kelangsungan hidup beberapa jenis tumbuhan. Petani harus cerdas memilih tanaman yang cocok dengan struktur tanaman dan lahan setempat. Lahan pertanian yang berupa ladang diperkuat dengan adanya bataran  untuk menahan rembesan tanah ke tempat yang lebih rendah. Teras ini menjadi buah karya tangan artistik para leluhur pendahulu. Tidak ada satu wargapun yang ingat siapa pembuat bataran pertama kali. Warisan nenek moyang yang tak ternilai harganya, terkapar begitu saja tanpa ada yang mengenal pembuatnya. “Kadung hat kumpinle tare ingot adenange?” (Red;sudah dari cicit saya tidak ingat keberadaanya), tutur Wan Kabeh saat ditanya di atas bataran ladangnya.
                Pemuda masa kini telah berangsur pensiun untuk melanjutkan tongkat estapet bapaknya sebagai seorang petani. Rasa gengsi dan ciut nyali mengurungkan niat menjadi petani. Hampir keseluruhan pemuda Nusa Penida memilih berprofesi menjadi buruh atau kerja di sektor pariwisata. Ratusan warga per tahunya melakukan urbanisasi ke beberapa kota di Bali. Ironisnya sebagian besar dari mereka merasa bangga menjadi karyawan atau buruh. Hasil yang nikmat sesaat menjadi daya tarik pemuda bekerja ke kota. Padahal kalau kita bandingkan hasilnya hampir sama dengan petani yang ada di Nusa Penida. Kesan seorang petani yang selalu sederhana, makan seadanya, sampai pola pakaian yang keliatan kotor, merupakan salah satu sebab menurunnya popularitas petani. Modernisasi sebagai sebab generasi penerus cenderung berpoya-poya tanpa memikirkan arah dan tujuan hidupnya. Jangankan pemuda, anak kecilpun jika ditanya cita-citanya? Tidak ada nya ingin menjadi petani semua ingin menjadi dokter, guru, pilot, bangkan presiden. Nah kalau semua menjadi dokter, trus yang jadi petani siapa?. Kemunduran karakter ini merakibat terkikisnya propesi petani dimasa mendatang.
                Dapatkan bataran menjadi ekowisata di Nusa Penida? Apakah pariwisata kita nanti trus berfokus pada pantai seperti diving, snorkling, fishing, swimming atau ing-ing yang lainya lagi?. Perlu adanya kreativitas dan inovasi tinggi untuk membangun hal-hal baru sebagai alternative pariwisata nanti. Bataran sebagai warisan budaya tentu bisa sebagai pilihan paket pariwisata  yang baru. Ekowisata nampaknya selaras dengan moto lingkungan go green and clean. Selain pengunjung bisa merasakan segarnya udara pedesaan yang alami, mereka juga akan merasa nyaman karena jauh dari suasana bising dan polusi perkotaan. Tentu untuk membangun pariwisata harus didukung oleh infrastruktur yang memadai. Peran pemerintah sangat diperlukan oleh masyrakat setempat. Hendaknya jangan terkesan menunggu apalagi tidak mampu?. Jika kita bisa melakukan itu, secara tidak langsung bataran sebagai warisan budaya akan tetap lestari sepanjang hari.